Segarnya Mata Air dan Doa Masuk WC



Segarnya air di air terjun Cipamingkis di pagi hari membuat saya dan teman-teman tak sabar untuk berenang. Setiba di lokasi, saya buru-biri membuka baju dan rasanya ingin segera bersentuhan dengan dinginnya air yang sangat jernih itu

"byurrrrrr" tubuh saya tenggelam. Dingin bercampur segar seketika menyentuh tubuh. Teman-teman pun segera menyusul menikmati air yg mengalir dari mata air ini.

Salah satu yang kami lakukan di tengah kecerian pagi itu, saling nimpuk dengan air. Teman yang baru turun ramai-ramai kita “serang”. Tak hanya yang paling tua,  teman yang jomblo dan over acting tak luput dari “serangan” teman-teman. Keceriaan terpancar di wajah kami.

Sehingga, saat saya meneggelamkan tubuh menikmati dinginnya air,  terdengar bisikan dari seorang teman. Tangannya menengadah, nampaknya dia tengah berdoa. Dalam benak saya, pasti teman yang biasa meruqyah (mengusir jin dari dalam tubuh orang) ini tengah berdoa supaya jin-jin yang ada di air terjun tidak menganggu kami.  Saya pun teringat beberapa tahun lalu, saat berwisata ke sebuah air terjun. Di mana, saya melihat sejumlah orang yang sedang bertapa menjalan ritual meminta bantuan jin. Mungkin, teman saya tadi ingin menghindarkan kami dari hal-hal yang tidak diinginkan akibat gangguan makhluk halus itu.

Namun perhatianku kepadanya mulai buyar saat saya mendengar doa yang diucapkannya agak keras. Dia berdoa,  "Allahumma inni Audzubika minal hubutsi wal khabaits", doa yang diajarkan oleh Nabi kita ketika masuk WC. Ternyata, teman tadi bukan berdoa mengusir jin namun berdoa untuk buang air. Ya, buang air kecil! Padahal waktu itu kami berendam di sampingnya.

Saya pun tertawa terpingkal-pingkal, begitu juga dengan teman saya. Saya segera mengambil ancang-ancang menjauhi “area” buang air teman saya. Saya takut, apa yang dia keluarkan menghampiriku.......

Ada-ada saja teman yang satu ini....

Related Posts:

Antara Lagu Iwan Fals, Melly Goeslow dan Ibu Karir Hari Ini

Di suatu pagi tiba-tiba pikiranku melayang meresapi lagu-lagu bertema ibu. Secara tak sadar otakku menyanyikan lagu mba Melly Goeslow, om Iwan Fals dan bang Tufhail Al-Ghifari, yang bertemakan ibu. Dua dari tiga penyanyi itu memang namanya sudah dikenal. Adapun Thufail, dia adalah pemuda muallaf yang mencoba menggunakan musik untuk Dakwah. Namun sayang, usaha itu tidak membuahkan hasil.

Masing-masing penyanyi tersebut memiliki sebuah lagu bertema ibu. Mba Melly melalui bait-bait lagunya mengajak penikmat lagu kembali ke masa bayi. “Kata mereka, diriku selalu dimanja......kata mereka diriku selalu ditimang” demikian sebagian isi bait lagu mba Melly. Pendengar diajak untuk merenungkan kasih sayang seorang ibu ketika dia masih bayi. Dari bait lagunya, yang digambarkan mba Melly nampaknya dari keluarga mampu dan berkecukupan. Karena tak menyinggung perjuangan ibu untuk mencari makan untuk anaknya, selain kasing sayang.

Sementara om Iwan menggambarkan seorang ibu yang dengan susah payah melakukan perjalanan jauh sampai kakinya bengkak demi anaknya. Lantunan doa-doa dan kasih terus diberikan sang ibu untuk anaknya. Bahkan, kasih yang diberikan itu bak udara. Sangat lembut dan tak ada habisnya. Sehingga, om Iwan mengajak pendengarnya untuk bersungkur di pangkuan ibu demi membalas semuanya.

Adapun bang Thufail tak jauh dari yang digambarkan kedua seniornya itu.

Kemudian, pikiranku terhenyak ketika melihat realita sekarang. Yang digambarkan oleh Mba Melly, om Iwan dan Thufail masih berlakukah saat ini? Masih adakah ibu-ibu yang digambarkan oleh mereka, khususnya di kota-kota besar? Dan sejumlah pertanyaan-pertanyaan lain.

Om Iwan menjelaskan bagaimana perjuangan ibu kita dulu, berjalan ribuan kilo dengan kaki penuh darah dan nanah demi kita, anaknya. Bagaimana dengan ibu-ibu pengejar karir zaman sekarang!? Nampaknya jauh sekali dari yang digambarkan om Iwan. Ibu-ibu pengejar karir hari ini lebih mempercayakan baby sister untuk memberi cadangan kasih sayang yang ia tak mampu berikan sepenuhnya karena karir.

Bahkan tak jarang, seiring berkembangnya alat komunikasi, ibu karir sampai di rumah lebih sayang pada gadgetnya daripada anaknya. Terkadang saya melihat ibu zaman sekarang sibuk dengan HP pintarnya sementara anaknya dibiarkan main sendiri atau bermain dengan baby sister.

Maka tak jarang seorang anak lebih dekat kepada baby sister atau pembantu dibanding pada ibu yang telah melahirkannya. Ibu tak ubahnya hanya tempat untuk meminta uang jajan. Kasih sayang yang didapatkan dari ibu hanya diberikan di sisa-sisa waktu saat pulang kerja dengan kondisi badan capek. Bahkan tak jarang, saat pulang kerja anak sudah dalam kondisi terlelap. Di pagi harinya, ibu sibuk persiapan berangkat kerja lagi. Nyaris tak ada waktu untuk memberikan kasih sayang secara penuh kecuali di tanggal-tanggal merah. Sungguh sangat miris!

Tak heran, jika seandainya bait-bait lagu yang dibawakan oleh mba Melly, om Iwan dan bang Thufail sudah tak lagi bisa menyentuh anak-anak zaman sekarang. Wajar saja, karena sang ibu hanya memberi kasih sayangnya di sisa-sisa waktu. Sang anak semasa kecil tak mendapatkan haknya secara penuh. Kasih sayang yang seharusnya didapatnya harus dirampas “karir”.  

Wahai ibu, berpikirlah ulang untuk meniti karir yang bisa melalaikan peranmu. Engkau adalah tonggak bagi generasi bangsa kita. Melalui peranmulah bangsa ini ditentukan. Mungkin Anda berpikir, “sayang kuliah mahal-mahal tak ijazahnya tak digunakan”. Jangan salah ibu, anak ibu sangat butuh gugur yang ada dalam rumah dengan keilmuan setingkat doktor, bukan hanya sekedar sarjana strata satu. Sungguh, kita ingin generasi penerus kita jauh lebih baik dari generasi kita. Maka hal itu butuh para pendidik-pendidik yang berpendidikan tinggi dan Engkaulah pendidik itu ibu!

Related Posts:

Begini Jadinya Jika Orang Cerdik Kelaparan Bertemu dengan Penduduk Serakah

 
Suatu ketika, seorang yang dikenal cerdik kehabisan perbekalan dalam perjalanan. Rasa lapar pun menghampirinya. Dia terus berjalan sembari berharap ada orang baik yang memberinya makan. Namun tak ada seorang pun yang ditemuinya. Rasa lapar semakin melilit dan hampir-hampir membunuhnya.

Saat sampai di pinggiran sebuah desa, si cerdik bertemu laki-laki yang menyeret kucing dengan seutas tali. Laki-laki itu terlihat aneh dengan memakai satu sandal di kaki kanannya.

“Hei…kamu tidak boleh melakukan hal itu. Apakah kamu tidak memiliki rasa belas kasihan!!?” teriak si bijak mengingkari perbuatan laki-laki yang tak dikenalnya itu. Dia semakin curiga ketika si laki-laki itu hanya berhenti sebentar dan melihat sekeliling dengan pandangan kosong, kemudian berlalu begitu saja.

Orang bijak pun meninggalkan laki-laki itu dan melanjutkan perjalanan. Dia ingin menuju pusat desa, berharap bertemu orang baik hati. Namun harapan itu seakan sirna ketika ia baru sadar penduduk desa tersebut dikenal sangat pelit dan juga miskin.

“Di sini mungkin akhir hidupku. Rasa lapar ini sudah sudah hampir membunuhku,” pikirnya seketika itu. Dia pun menghentikan langkah.

Beberapa saat kemudian, seakan ada yang membisikinya. Terbesit dalam benaknya, “apa gunanya orang-orang mengenalku sebagai orang cernik namun kecerdikanku tak bisa menolong kelaparanku!?”

Dia mulai memutar otak. Sebuah rencana besar mulai disusunnya untuk bisa mendapat makanan dari para penduduk pelit itu. Dia berdiri di jalan utama di pusat desa sambil berteriak-teriak, “Wahai warga kampung, saya mempunyai mempunyai kabar bagi kalian. Saya adalah seorang adalah Syaikh yang bijaksana. Silahkan bertanya apa saja!” katanya kepada warga yang mulai mengerubuninya.

Penduduk desa yang mayoritas berpendidikan rendah percaya begitu saja dengan orang cerdik tersebut. Satu persatu mengajukan pertanyaan dengan berharap orang yang mengaku Syaikh yang bijaksana itu bisa memberi solusi dari permasalahannya.

Si bijak memberikan kesempatan pada tiga orang penanya. Penanya pertama adalah seorang laki-laki yang hanya mengenakan sandal di kaki kirinya. Dia bertanya “Apakah engkau mengetahui siapa yang mencuri sandal sisi kananku?”. Kemudian penanya kedua yang seorang wanita mengajukan pertanyaan, “kenapa kita tidak bisa terbang?”. Penanya terakhir yang seorang laki-laki menanyakan, , “Mana yang lebih dulu diciptakan, laut apa bumi?”

Dengan penuh percaya diri, si bijak mulai menjawab satu persatu pertanyaan tersebut. Kepada penanya pertama, dia memberi jawaban bahwa saya kira pencurinya adalah orang yang tadi saya temui di jalan. Dia hanya memakai sandal sebelah kanan dan menyeret kucing.

Jawaban tersebut membuat laki-laki sang penanya takjub. Dia mengatakan, “Sungguh Anda telah mengetahuinya!? benar, dialah yang mencuri sandalku.  Dia adalah orang gila”.

Menjawab pertanyaan kedua, si bijak meminta didatangkan tujuh ekor ayam. Dia mengatakan, ayam-ayam tersebut nanti kita sembelih dan kita ambil bulu-bulunya. Kemudian, saya akan membuatkan sayap untukmu sehingga kamu bisa terbang.

Tak beberapa lama, wanita tersebut datang membawa tujuh ekor ayam. Ayam tersebut disembeli dan dicabuti bulu-bulunya. Si bijak kemudian membuat sayap untuk wanita tersebut dan berkata, “kamu bisa terbang kalau tubuhmu lebih kurus sedikit”.

Untuk pertanyaan ketiga, dengan cerdiknya orang itu meminta panci yang berisi air. Setelah panci dan air dihadapannya, ia menyalakan api. Ayam yang didapat dari penanya kedua dimasukkan dalam panci tersebut dan direbus sampai matang. Ayam yang sudah matang kemduian dikeluarkan dari panci dan di letakkan di nampan.

Kemudian, si bijak memberi penjelasan. “Jawaban pertanyaanmu, apakah Allah menciptakan laut sebelum bumi, mari kita perhatikan bagaimana air ini masih tetap berada di tempatnya!? artinya, Tuhan menciptakan bumi terlebih (sebagai tempat untuk menampung air) dahulu kemudian laut”.

“Saat ini, kita akan makan ayam dulu sebelum kalian menanyaiku mana yang lebih dulu diciptakan, ayam atau manusia,” katanya menyudahi penjelasan.

Begitulah jika kelaparan dan keserakahan berkumpul dalam diri suatu bangsa. Hasilnya pasti kebodohan yang tak berujung….

Sumber: http://www.kiblat.net/2016/05/04/orang-cerdik-dan-penduduk-miskin-lagi-serakah/

Related Posts:

Karena Air Segelas, Pupuslah Harapan Menikah



Sebut saja namanya Amir. Pemuda lulusan sebuah pesantren di pulau Jawa ini ingin meminang seorang wanita pujaannya. Ia pun harus menemui bapak wanita itu, yang sekaligus calon mertuanya (camer), untuk meminta ijin.  

Setelah membuat janji, Amir yang ditemani seorang sahabatnya memberanikan diri bertamu ke rumah camer. Meski ada perasaan was-was dan cemas, akhirnya ia sampai juga di depan pintu rumah camer. Perasaannya makin gak karuan.

“Assalamualaikum,” ucap Amir sembari mengetok pintu. Tak sampai menunggu lama, jawaban salam terdengar dari balik pintu.

“Waalaikumsalam, silahkan masuk,” jawab calon mertua membukakan pintu dan mempersilahkan Amir dan temannya masuk.

Mereka duduk di ruang tamu dan terlibat obralan. Sebagaimana orang tua pada umumnya yang hendak menikahkan anaknya, bapak sang wanita pujaan menanyakan banyak hal. Mulai dari latar belakang, pendidikan, pekerjaan hingga rencana ke depan setelah menikah.

Di tengah obrolan yang membuat Amir agak gelagapan itu, calon ibu mertua datang membawa air minum. Selesai menyajikan air minum, sang ibu kembali ke belakang. Sementara obrolan antara calon mantu dan calon mertua terus berlanjut.

“Silahkan nak diminum,” kata calon mertua.

“Oh...iya, terima kasih,” jawab Amir. Ia tidak segera meraih gelas.

Dengan nada sedikit memaksa, camer meminta Amir untuk minum. Namun, pemuda itu dengan sedikit salah tingkah tak segera meraih gelas. Amir mencoba mengalihkan situasi dengan kembali mengajak ngobrol calon mertua.

Diam-diam calon mertua memperhatikan gerak-gerak Amir. Dalam benaknya bertanya-tanya kenapa calon menantunya itu tak kunjung meminum air yang dihidangkan. Apakah dia gengsi untuk meminum minuman desa ataukah ada masalah lain. Akhirnya, calon mertua ingin menguji Amir.

Sang camer berpura-pura ijin ke belakang. Tinggallah Amir bersama temannya di ruang tamu. Setelah tengok kanan dan tengok kiri untuk memastikan tidak ada tuan rumah yang melihat, Amir membuang air minum yang ada di gelas di depannya ke pot bunga di ruang tamu. Amir berpikir, supaya tidak menyinggung camer karena tidak meminum yang sudah didisediakan.

Ternyata perbuatan tersebut diintip dari balik korden tanpa disadari oleh Amir. Beberapa saat kemudian, sang camer keluar dan kembali duduk di tempat semua. Sang camer bersikap seolah tidak pernah melihat perbuatan calon menantunya yang dianggap tidak sopan tersebut.

Tibahlah di ujung penentuan. Amir pun menyampaikan maksud kedatangannya untuk meminang sang wanita idaman. Akan tetapi, seperti disambar petir, Amir mendapatkan jawaban yang tidak diinginkan sama sekali. Sang camer menolak lamaran kepada anaknya!! Pupuslah sudah harapan Amir.....

Setelah diusut punya usut, ternyata Amir saat itu sedang menjalankan puasa sunnah. Lantaran tidak enak, ia membuang minuman yang telah dibuat dengan susah payah oleh calon ibu mertua. Amir juga tidak mau jujur karena takut riya’. Sementara nasi sudah menjadi bubur.........

*Ini adalah kisah nyata yang dialami temannya, teman saya. Dan alhamdulillah akhirnya dia mendapat pengganti dan sudah dikaruniai anak

Related Posts:

Polisi Tilang Wartawan



“Ndan, minta tolong bantuannya. Saya sedang buru-buru, mau ada liputan,” kata teman kepada komandan polisi yang menilang dirinya. Sebelumnya dia menghadapi dua polisi yang pangkatnya lebih rendah dari polisi tersebut. 

Tak disangka, pagi itu, teman yang terburu-buru menghadiri acara di Jakarta Pusat itu harus menghentikan perjalanan, tepatnya di depan Taman Mini Indonesia Indah. Segerombolan polisi melakukan razia di jalan menuju arah Jakarta. Padahal, hari itu operasi simpatik sudah selesai.
“Selamat pagi pak. Bisa dikeluarkan surat-suratnya,” minta polisi kepada teman saya yang menepi di bahu jalan. 

“Sebentar pak,” jawabnya sembari membuka dompet dari saku celana jinnya. 

Kartu Ijin Mengemudi (SIM) berhasil ia dikeluarkan dari dompet kulitnya. Dengan percaya diri, teman yang bertubuh besar dan tambun itu menunjukkan SIMnya kepada pak polisi yang tidak ganteng itu. Namun, saat diminta menunjukkan STNK, dia kebingungan. Karena surat tersebut ternyata tak ada didompet. Ia teringat surat itu tertinggal di kantong celana yang ada di rumah.
Perasannya mulai dag-dig-dug. Pak polisi terus menekannya, seperti menekan pesakitan untuk ngaku. Teman saya mencoba meyakinkan polisi bahwa STNK motor yang dipakainya ada namun ketinggalan. 

“Sebentar pak, STNK saya ketinggalan dan sekarang lagi diantar temen saya,” katanya dengan nada tegas meyakinkan polisi. 

“Mana pak!!!? Anda tidak bisa menunjukkan surat motor Anda!” cecar polisi. 

“Tunggulah pak...saya juga lagi buru-buru mau liputan,” katanya lagi. 

“Mau liputan kemana, saya juga lagi kerja pak!” sergah polisi. 

“Coba tunjukin kartu pers,” pinta polisi. 

Duh, ternyata kartu persnya ketinggalan bersama STNK. Makin terpojok lagi temannya saya ini. Namun, dia mencoba meminta temannya yang saat itu membonceng untuk menunjukkan kartu pers. Beruntung, temannya itu membawa kartu pers dan segera ditunjukkan kepada polisi. 

Kemudian, polisi yang menilang tadi pergi menemui temannya. Tampaknya, dia meminta temannya yang lebih senior menghadapi teman saya yang wartawan tadi. Benar saja, tak berapa lama polisi lain menghampiri teman saya. 

“Bagaimana pak, Anda bisa menunjukkan STNK tidak?” tanya polisi 

“Sebentar pak, STNKnya lagi diantara teman saya. Sebentar lagi sampai,” jawabnya mulai agak tenang. 

Keduanya sedikit bernegoisasi hingga akhirnya pak polisi pergi dan menyerahkan SIM temen saya kepada komandannya. Sang komandan pun turun langsung menghadapi pria “berbahaya ini”. Teman saya diajak menjauh dari kerumunan penilangan. Temen saya pun mulai bisa mengendalikan perasaan dan lebih merasa tenang. Karena dia merasa bisa menang dalam negosiasi. 

“Gimana ndan, minta bantuannya, saya buru-buru mau liputan,” kata teman saya mengawali perkataan kepada komandan polisi itu. 

”Masalah STNK ini terserah kamu, kamu yang tahu dan kamu yang harus bertanggung jawab. Kalau ada apa-apa saya tidak mau tahu,” kata komandan polisi sembari menyerahkan SIM teman saya.
“Silah pergi dan jangan diulangi lagi,” tambahnya. 

Temen saya kemudian bisa lolos tanpa mengeluarkan sepeserpun uang untuk polisi-polisi jalanan itu. Dia melanjutkan perjalanan, tetap tanpa berbekal STNK. 

Sementara itu, temannya yang hendak mengantar STNK ditelepon untuk segera balik kanan. Padahal, dia sudah di pertengahan perjalanan.


Related Posts: