Dulu saya sering mendengar perkataan berbahasa Arab “لايعرفها الا من ذاقها . Ungkapan tersebut akrab di telinga karena
teman satu kamar sering mengulang-ulang ungkapan yang waktu itu saya tidak tahu
siapa yang membuatnya. Saya hanya ikut-ikutan mengucapkan peribahasa itu ketika
menceritakan suatu kenikmatan kepada teman yang belum ia rasakan.
“Tidak mengetahuinya kecuali yang sudah merasakannya,”
demikian kurang lebih arti ungkapan itu jika diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia.
Sekian lama tak lagi mendengar kata-kata itu. Saya pun sudah
agak melupakannya, namun masih hafal. Mungkin, karena ungkapannya yang bagi
saya sangat ringkas dan memiliki arti mendalam, membuat tak mudah hilang dalam
ingatan.
Kurang lebih dua pekan lalu, ungkapan itu kembali
menghampiri telingaku. Seorang ustad yang juga tetangga kampung tiba-tiba
mengucapkan ungkapan itu di sela-sela ngobrol santai. Waktu itu, sang ustad
hendak bertemu dengan bos. Karena bos lagi tidak ada, saya manfaatkan
kesempatan itu untuk ngobrol santai dengan beliau. Karena kebiasaannya, beliau
sering menyampaikan ilmu atau cerita menarik ketika diajak ngobrol.
Ustad yang nampak kelihatan kezuhudannya itu memberikan
penjelasan menarik mengenai ungkapan itu yang tidak saya duga sebelumnya.
Awalnya, saya mengira ungkapan itu hanya untuk kenikmatan-kenikmatan umum yang
kita dapatkan dan tidak orang lain dapatkan, namun ternyata lebih dari itu.
Pencetus ungkapan itu adalah tokoh pergerakan Islam Ikhwanul
Muslimin Mesir, Sayid Qutub. Dari penjelasan ustad, versi lengkap ungkapan itu
adalah “Kenikmatan yang tidak diketahuinya kecuali orang yang sudah
merasakannya”. Ada tambahan kata
Kenikmatan di awalnya.
Dia mengaku baru paham dengan ungkapan itu ketika makan roti
bersama sang istri beberapa hari lalu (sebelum menceritakan hal ini). Ketika
itu, katanya, sang istri mengatakan roti ini enak. Mendengar pernyataan itu
pikirannya teringat dengan ungkapan tokoh IM di atas. Dia lantas bertanya,
kenapa roti itu enka? Istrinya menjawab, karena saya sudah makan sebelumnya dan
berbeda dengan roti-roti lain.
Yang menjadi titik poin, orang merasakan roti itu enak
karena ia punya Dhouq atau indra perasa. Indra itu bisa membedakan mana roti
enak dan mana roti tidak enak. Tanpa indra itu, tidak akan bisa membedakan
antara rasa satu roti dengan roti lain. Semua serasa sama saja.
Demikian, kalau kita tarik ungkapan itu dalam memandang
syariat Islam. Syariat kalau dipandang dari sudut Dhouq (perasaan) nafsu pasti
tidak enak dan sangat berat melaksanakan meskipun itu syariat yang ringan.
Menerapkan syariat di dunia seakan sempit. Segala sesuatu dilarang, terlebih
yang dipandang dari kasat mata mengenakan. Jika terpaksa menjalankannya pun
terasa sangat berat.
Namun berbeda kalau memandang syariat dengan Dhouq iman.
Segala perintah dan larangan Allah akan terasa sangat mudah dan enak
dilaksanakan. Mulai dari syariat jihad hingga syariat poligami. Tidak ada rasa
berat di hati atau gersulo (kata orang jawa) dalam melaksanakan syariat itu.
Demikianlah kalau kita melihat para ulama zaman dahulu yang
berpegang teguh dengan ajaran Rasullah. Segala konsekuensi yang mereka terima
dari melaksanakan syariat dari sudut pandang Dhouq iman tidak memberatkannya
sedikitpun. Segala keburukan yang ditimpakan musuh terhadapnya tak mampu
menjadikan hatinya tersiksa atau sedih. Antara diganggu dan tidak diganggu
tidak mengubah kemerdekaan dalam diri dan hati mereka.
Salah satu contoh adalah Ibnu Taimiyah. Beliau pernah
mengatakan, “apa yang bisa dibuat oleh musuh-musuhku. Jika aku dipenjara,
bagiku istirahat dari bekerja. Jika aku diusir, bagi jalan-jalan. Jika aku
dibunuh, bagiku khusnul khatimah. Sungguh indah.....
Pondok Gede, Bekasi, 04/11/2015

