Teh Power Of Ridha
Termasuk dari keimanan seorang hamba adalah ridha dengan ketentuan-ketentuan Allah SWT. Segala hal yang menimpa hamba harus diyakini itu yang terbaik baginya. Tidak boleh dalam hatinya ada penolakan, atau tidak menerima.
Ada kisah menarik terkait pembahasan ini. Diceritakan Imam Adz Dzahabi ada seorang raja. Suatu hari, raja itu mengupas buah dengan sebilah pisau. Tanpa sengaja, jari si raja terkena pisau dan berdarah.
Darah mengucur deras karena parahnya luka tersebut. Bahkan, jari raja harus diamputasi. Tangan raja kini cacat, salah satu jarinya hilang.
Melihat musibah itu, para penasihat raja menasihati untuk sabar dan ridha atas musibah itu. Itu adalah takdir yang ditentukan Allah dan yang terbaik untuk raja.
Mendengar hal itu, raja marah. Ia mengatakan, bagaimana kalian menyuruhku bersikap ridha dan menerima sementara jariku putus. Apa kalian tidak melihat saat ini saya cacat.
Dengan kecongkakannya, raja itu menjebloskan penasihat tersebut ke dalam penjara. Sang penasihat pun konsisten dengan apa yang diucapkannya. Ia ridha dengan takdir Allah, masuk penjara.
Beberapa waktu berlalu, raja yang memiliki hobi berburu itu masuk ke hutan. Tak seperti biasa, kegiatan berburunya ini dilakukan seorang diri. Ia menelusuri hutan belantara itu untuk mencari target.
Di tengah asik mengejar buruan, tidak sengaja raja tersebut bertemu dengan sekelompok manusia hutan. Mereka tidak berpakaian dan berbicara dengan bahasa yang tidak biasa digunakan manusia pada umumnya.
Raja terkejut dan berusaha melarikan diri. Namun, sekelompok manusia itu mengejarnya. Akhirnya, sang raja terkepung di tengah hutan. Ia pun ditangkap dan di bawa ke markas orang-orang primitif itu.
Raja tersebut diikat di sebuah batang kayu. Orang-orang hutan mengelilinginya dan berbicara yang tidak ia pahami.
Beberapa jam kemudian, kepala kelompok hutan tersebut keluar. Belakangan diketahui, manusia-manusia hutan ini sering mempersembahkan tumbal manusia kepada roh yang mereka sembah. Raja pun semakin takut dan nyawanya tak lama lagi melayang.
Sebelum pelaksanaan upacara penyerahan tumbal, raja memeriksa satu setiap sudut barang yang ingin dijadikan tumbal. Menurut keyakinan mereka, tumbal itu harus sempurna dan tidak ada cacat sedikitpun.
Setelah diteliti satu persatu bagian raja itu, ketua siku tersebut mendapati salah satu jarinya tidak ada. Sontak, ketua suku itu marah dan menyuruh anak buahnya melepaskan raja tersebut. Ia tidak masuk salam kriteria timbal karena cacat, jarinya putus.
Raja pun merasa lega dan senang. Bagaimana tidak, nyawanya yang tinggal di ujung tanduk selamat akibat kecacatan tubuh yang dulu ia benci. Di tengah perjalanan kembali ke kerajaan, di benaknya terngiang-ngiang nasihat penasihat kerajaan ketika jarinya putus oleh pisau. Sebagai bukti syukur, ia berjanji akan melepaskan penasihatnya tersebut.
Sesampainya di kerajaan, ia meminta pengawal melepaskan penasihatnya tersebut. Kemudian di ceritakanlah seluruh yang dialaminya di tengah hutan. Ia mengatakan, sejak kejadian itu dirinya yakin dan menerima apa yang telah ditakdirkan Allah. Ia juga meminta maaf kepada penasihat.
Penasihat itu menimpali cerita raja. Ia mengungkapkan, jika saya tidak dipenjara, saya pasti bersamamu dalam berburu. Anda cacat akan dilepaskan, sementara saya sempurna pasti akan dijadikan tumbal.
Semoga kisah ini menjadi pelajaran bagi hidup kita...
Disadur dari ceramah Ustad Abdul Khalid, MA.

